Larangan impor adalah kebijakan pemerintah yang melarang masuknya barang tertentu atau produk asing (ke dalam pasar domestik) ke dalam negeri. Kebijakan larangan impor dilakukan untuk menghindari barang yang dapat merugikan masyarakat. Misalnya melarang impor daging sapi yang mengandung penyakit Anthrax. Kebijakan ini biasanya dilakukan karena alasan politik dan ekonomi.
Menurut Dijen KPI Kemendag (2011), ada tiga sasaran kebijakan larangan impor, yaitu:
- Kebijakan Larangan Impor Berorientasi Lingkungan Hidup.
- Kebijakan Larangan Impor Untuk Melindungi Industri Dalam Negeri dan
- Menjaga Balance of Payments
Berikut ini adalah ulasan kebijakan larangan impor sesuai ketiga sasaran tersebut diatas:
- Kebijakan Larangan Impor Berorientasi Lingkungan Hidup
Pemerintah suatu negara dapat melarang impor produk tertentu apabila produk tersebut berbahaya bagi manusia, hewan, maupun tumbuhan di suatu negara, atau karena produk itu merupakan hasil eksploitasi sumber daya alam hingga merusak keseimbangan ekologi.
Di Indonesia, terdapat beberapa produk yang dilarang masuk ke Indonesia karena berbahaya bagi lingkungan hidup, antara lain limbah plastik (Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 520/MPP/Kep/8/2003), Pestisida etilen dibromida, Limbah B3 kecuali item tertentu, Udang spesies Penaeus Vanamae (Peraturan Bersama Mendagri dan Menteri Kelautan dan Perikanan), dan produk susu dan olahan susu dari Cina. Akan tetapi, pada Agustus 2008 muncul berita bahwa Pemerintah akan mengizinkan impor limbah plastik untuk memenuhi kebutuhan bahan baku murah bagi industri, karena menurut data Asosiasi Industri Plastik dan Olefin Indonesia, selama semester pertama 2008 harga bahan baku plastik polyethylene dan polypropylene naik 100 persen dari US$ 1.100 menjadi US$ 2.200 per ton. Sedangkan pelarangan impor udang spesies Penaeus Vanamae adalah karena di pasar internasional beredar udang jenis ini yang terserang penyakit.
Produk susu dan olahan susu dari Cina juga masuk dalam daftar larangan impor di 31 negara lain, menyusul terjadinya skandal susu bermelamin di Cina. pada akhir September 2008, dilaporkan susu bermelamin telah menimbulkan 94.000 korban, termasuk 4 bayi meninggal karena kerusakan ginjal. Pada tahun 2004, terjadi kasus malnutrisi anak-anak di Cina Daratan , akibat susu yang tidak mengandung protein. Oleh karena itu, Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai kandungan protein. Nampaknya, perusahaan-perusahaan susu di Cina menambahkan melamin dalam susu agar seakan-akan susunya mengandung protein yang tinggi. WHO menyebutkan bahwa ini adalah salah satu skandal keamanan makanan paling besar dalam beberapa tahun terakhir. Setelah terungkapnya skandal ini di dunia Internasional, reputasi ekspor makanan asal Cina menjadi jelek, dan tercatat 11 negara menghentikan seluruh impor produk susu dan olahan susu dari Cina Daratan.
- Kebijakan Larangan Impor Untuk Melindungi Industri Dalam Negeri
Dalam kondisi normal, suatu anggota WTO dilarang untuk melakukan pembatasan kuantitatif untuk impor dan ekspor sebagaimana diatur dalam pasal XI GATT 1994. Namun demikian, dalam kondisi tertentu negara anggota dapat melakukan safeguard measures sebagai langkah guna melindungi industri domestik dari kerugian yang disebabkan peningkatan impor. Terdapat dua kondisi untuk menerapkan safeguards measures, yakni :
- Terjadi peningkatan impor dibandingkan produksi barang sejenis di dalam negeri.
- Peningkatan impor tersebut mengancam dan mengakibatkan kerugian yang serius terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang serupa.
Dengan adanya ketentuan ini, diharapkan negara tersebut dapat melakukan penyesuaian atas produk tertentu yang menghadapi tekanan yang berasal dari impor barang yang diakibatkan terjadinya persaingan atau kompetisi secara internasional. Safeguards measures bersifat sementara dan semata-mata dilakukan dalam rangka proses penyesuaian bagi industri domestik yang menghadapi tekanan. Safeguards measures tidak dapat digunakan untuk memproteksi industri domestik dalam jangka panjang.
- Menjaga Balance of Payments
Apabila negara anggota WTO menghadapi kesulitan neraca pembayaran (balance of payments/BOP difficulties), maka negara anggota tersebut dapat menerapkan pembatasan atas perdagangan jasa yang menyebabkan timbulnya komitmen termasuk pembayaran atau transfer yang berkitan dengan komitmen tersebut. Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi agar pengecualian tersebut dapat diberlakukan adalah :
- Perekonomian negara berkembang tersebut lemah, sehingga hanya dapat menyokong standar kehidupan yang rendah.
- Dalam tahap awal pembangunan
- Mengalami kesulitan BOP sebagai akibat dari kebijakan membuka pasar domestik dan perubahan persyaratan perdagangan (terms of trade).
Kebijakan larangan impor demi industri lokal di Negeria tidak diimbangi dengan penyediaan infrastruktur yang memadai akan merugikan industri sendiri. Pihak industri sendiri menyatakan bahwa seharusnya pemerintah memikirkan bagaimana menyediakan infrastruktur bagi mereka, daripada melakukan pelarangan impor. Misalnya dalam kasus industri baja, untuk mencegah perusahaan-perusahaan baja gulung tikar, maka pemerintah Nigeria harus menyediakan tenaga listrik sekitar 70-80 megawatt. Dengan melakukan pelarangan impor, pemerintah telah menciptakan pasar bagi produk lokal, tapi industri lokal sendiri kesulitan untuk memenuhi permintaan pasar. Akibatnya, terjadi kelangkaan, rendahnya kualitas produk dan mahalnya harga barang-barang, sehingga konsumen menjadi korban dari kebijakan ini.
Faktanya, walaupun berneraca surplus dalam perdagangan internasional, tapi Nigeria terbelit utang, sebagai akibat dari ketergantungan yang berlebihan pada perdagangan sektor minyak yang padat modal dan harga produknya sangat fluktuatif. Negeri ini sempat menikmati masa kejayaan harga jual minyak pada tahun 1980-an, sehingga membuat GDP Nigeria menembus US$81 miliar pada tahun 1985, namun angka GDP terus melorot menjadi US$40,5 miliar saja pada 1995. Akibatnya, Nigeria menanggung beban utang luar negeri yang tak tertanggungkan yakni US$1,7 miliar per tahun untuk mencicil utang dan bunganya yang semakin membesar, atau sekitar separuh dari nilai yang harus dibayarkan. Selain anjloknya harga minyak sejak tahun 1980-an, tingkat korupsi yang tinggi juga menyebabkan keadaan ekonomi Nigeria memburuk (Transparency International mencantumkan Nigeria sebagai negara terkorup ketiga se-dunia), (indonesia.go.id).
Dalam perkembangan berikutnya, WTO berhasil mendorong Nigeria untuk menghapuskan hambatan impornya dalam delapan tahun program eliminasi. (WTO 1998). Sebagaimana dapat dilihat pada Implementation of the Year 2008 Fiscal Policy Measures and Tariff Amendments yang dikeluarkan Budget Office Nigeria, bahwa larangan impor dialihkan ke hambatan tarif impor yang cukup tinggi, khususnya untuk produk-produk yang dapat ditemukan di dalam negeri .